20 Oktober 2013

Suku Asmat Seri 02



 Seperti yang saya janjikan, dalam postingan minggu ini saya akan melanjutkan pembahasan mengenai suku Asmat.

Suku Asmat terkenal dengan ukiran kayunya. Ukiran kayu yang bernilai seni ini dibuat tanpa menggunakan rancangan sketsa. Ukiran hasil buatan mereka sangat diminati para turis asing. Ukiran yang tak pernah dibuat identik dan beraliran naturalis menjadi ciri khas dari karya ukiran hasil suku ini. Berikut adalah contoh salah satu ukiran tersebut.


Dahulu, patung ukiran ini dibuat untuk mengadakan upacara bis, yaitu upacara yang diadakan untuk memperingati anggota keluarga yang mati terbunuh. Pembuatan patung ukiran leluhur ini memakan waktu 6-8 minggu. Pengukiran patung dikerjakan di dalam rumah panjang (bujang) dan selama pembuatan patung berlangsung, kaum wanita tidak diperbolehkan memasuki rumah tersebut. Patung bis menggambarkan rupa dari anggota keluarga yang telah meninggal. Yang satu berdiri di atas bahu yang lain bersusun dan paling utama berada di puncak bis. Setelah itu diberikan warna dan diberikan hiasan-hiasan.Usai didandani, patung bis ini diletakkan di atas suatu panggung yang dibangun dirumah panjang. Pada saat itu, keluarga yang ditinggalkan akan mengatakan bahwa pembalasan dendam telah dilaksanakan dan mereka mengharapkan agar roh-roh yang telah meninggal itu berangkat ke pulau Sirets dengan tenang. Mereka juga memohon agar keluarga yang ditinggalkan tidak diganggu dan diberikan kesuburan. Biasanya, patung bis ini kemudian ditaruh dan ditegakkan di daerah sagu hingga rusak.

Selain ukiran dan ritual, hal unik lainnya dari suku Asmat adalah makanan. Makanan pokok mereka adalah sagu. Sagu dibuat jadi bulatan-bulatan yang dibakar dalam bara api. Makanan unik lainnya adalah ulat sagu, yakni ulat yang hidup di batang pohon sagu. Biasanya ulat sagu dibungkus dengan daun nipah, ditaburi sagu kemudian dibakar dalam bara api. Selain itu sayuran dan ikan bakar biasanya dijadikan pelengkap.

Seperti kebanyakan suku terasing, suku Asmat merasa dirinya adalah bagian dari alam. Karena itulah mereka sangat menghormati dan menjaga alam sekitarnya. Bahkan, pohon disekitar tempat hidup mereka dianggap menjadi gambaran dirinya. Batang pohon menggambarkan tangan, buah menggambarkan kepala, dan akar menggambarkan kaki mereka. Perasaan menyatu dengan alam ini juga tampak dalam cara sederhana mereka untik merias diri mereka. Mereka hanya membutuhkan tanah merah untuk menghasilkan warna merah, kulit kerang yang dihaluskan untuk warna putih, dan arang yang dihaluskan untuk warna hitam. Cara penggunaannya pun cukup mudah, yaitu dengan menambahkan sedikit air lalu mengoleskan pewarna dengan tangan ke wajah masing-masing.

Suku Asmat memiliki sebuah alat musik khas, yaitu Tifa. Dalam kepercayaan mengenai asal usul suku mereka, anak dewa yang berhasil selamat ini merasa kesepian. Kemudian ia membuat patung-patung kayu dan sebuah tifa. Dalam kesepiannya, ia terus menerus menabuh tifanya hingga akhirnya bergeraklah patung- patung kayu yang dibuatnya mengikuti irama tifa yang ia mainkan. Kemudian, patung- patung yang bergerak itu pun berubah menjadi manusia hidup. Sejak saat itu, Fumuripitis, anak dewa itu, terus mengembara dan menciptakan manusia- manusia baru yang kemudian menjadi orang- orang Asmat seperti saat ini.

Demikianlah pembahasan mengenai suku Asmat dari saya. Mohon maaf bila data yang saya sajikan kurang lengkap berhubung saya sendiri belum pernah datang langsung ke tempat kediaman suku ini ^_^ . Akhir kata, saya ucapkan terimakasih untuk pembaca yang membaca dari awal postingan ini tanpa bosan meng-scroll. Sampai jumpa :)

14 Oktober 2013

Suku Asmat Seri 01

Kali ini saya akan membahas tentang suku asmat. Suku asmat adalah salah satu suku terbesar yang ada di pulau Papua yang terkenal dengan kerajinan seni ukirnya. Fisik mereka biasanya berbadan tegap, berhidung mancung, rambut dan kulit yang berwarna hitam dan bermata bulat. Sebagaimana suku baduy yang saya bahas minggu lalu, suku asmat juga merupakan suku terasing di Indonesia.

Suku asmat terbagi dua, yaitu suku asmat yang tinggal di daerah pedalaman dan di daerah Teluk flaminggo. Keduanya memiliki cara hidup, struktur sosial, dan ritual yang berbeda-beda. Namun, di antara keduanya, masih terdapat sebuah persamaan, yaitu mitos tentang asal dari suku mereka. Berdasarkan mitos tersebut, suku asmat berasal dari anak dewa yang berasal dari dunia mistik atau gaib yang lokasinya berada di mana mentari tenggelam setiap sore hari. Mereka yakin bila nenek moyangnya pada jaman dulu melakukan pendaratan di bumi di daerah pegunungan. Perbedaannya, dalam mitos suku asmat dari daerah teluk flaminggo, dewa itu bernama Fumuripitis. Dalam perjalanannya dari hulu sungai ke arah laut, ia diserang oleh seekor buaya raksasa. Perahu lesung yang ditumpanginya tenggelam. Dalam perkelahian sengit yang terjadi, ia dapat membunuh si buaya, tetapi ia sendiri luka parah. Ia terbawa arus sampai ke tepi sungai lalu dirawat oleh seekor burung flaminggo hingga sembuh.

Suku asmat merupakan suku yang terbilang unik. Mereka memiliki kepercayaan animisme, yaitu kepercayaan kepada nenek moyang. Salah satu contoh penerapan kepercayaan mereka adalah cara yang dipakai Suku Asmat membunuh musuhnya. Ketika musuh terbunuh, mayatnya dibawa ke kampung, kemudian dipotong dan dibagikan kepada seluruh penduduk untuk memakan bersama. Mereka menyanyikan lagu kematian dan memenggal kepalanya. Otaknya dibungkus daun sago dan dipanggang kemudian dimakan.

Kehidupan orang-orang Asmat juga sangat terkait erat dengan alam sekitarnya. Mereka percaya bahwa alam ini didiami oleh roh, jin, dan makhluk-makhluk halus, yang disebut setan. Setan ini digolongkan ke dalam 2 kategori : 
                 1.          Setan yang membahayakan hidup
Setan yang membahayakan hidup ini dipercaya oleh orang Asmat sebagai setan yang dapat mengancam nyawa dan jiwa seseorang. Seperti setan perempuan hamil yang telah meninggal atau setan yang hidup di pohon beringin, roh yang membawa penyakit dan bencana (Osbopan). 
2.           Setan yang tidak membahayakan hidup
Setan dalam kategori ini dianggap oleh masyarakat Asmat sebagai setan yang tidak membahayakan nyawa dan jiwa seseorang, hanya saja suka menakut-nakuti dan mengganggu saja. Selain itu orang Asmat juga mengenal roh yang sifatnya baik terutama bagi keturunannya., yaitu berasal dari roh nenek moyang yang disebut sebagai yi-ow

          Suku Asmat percaya bahwa kematian yang datang kecuali pada usia yang terlalu tua atau terlalu muda, adalah disebabkan oleh tindakan jahat, baik dari kekuatan magis atau tindakan kekerasan. Kepercayaan mereka mengharuskan pembalasan dendam untuk korban yang sudah meninggal. Sampai pada akhir abad 20an, para pemuda Asmat memenuhi kewajiban dan pengabdian mereka terhadap sesama anggota, kepada leluhur dan sekaligus membuktikan kejantanan dengan membawa kepala musuh mereka, sementara bagian badannya di tawarkan untuk dimakan anggota keluarga yang lain di desa tersebut.

Apabila ada orang tua yang sakit, maka keluarga terdekat berkumpul mendekati si sakit sambil menangis sebab mereka percaya ajal akan menjemputnya. Tidak ada usaha-usaha untuk mengobati atau memberi makan kepada si sakit. Keluarga terdekat si sakit tidak berani mendekatinya karena mereka percaya si sakit akan ´membawa´ salah seorang dari yang dicintainya untuk menemani. Di sisi rumah dimana si sakit dibaringkan, dibuatkan semacam pagar dari dahan pohon nipah. Ketika diketahui bahwa si sakit meninggal maka ratapan dan tangisan menjadi-jadi. Keluarga yang ditinggalkan segera berebut memeluk sisakit dan keluar rumah mengguling-gulingkan tubuhnya di lumpur. Sementara itu, orang-orang di sekitar rumah kematian telah menutup semua lubang dan jalan masuk (kecuali jalan masuk utama) dengan maksud menghalang-halangi masuknya roh-roh jahat yang berkeliaran pada saat menjelang kematian. Orang-orang Asmat menunjukkan kesedihan dengan cara menangis setiap hari sampai berbulan-bulan, melumuri tubuhnya dengan lumpur dan mencukur habis rambutnya. Yang sudah menikah berjanji tidak akan menikah lagi (meski nantinya juga akan menikah lagi) dan menutupi kepala dan wajahnya dengan topi agar tidak menarik bagi orang lain.

Mayat orang yang telah meninggal biasa diletakkan di atas para (anyaman bambu), yang telah disediakan di luar kampung dan dibiarkan sampai busuk. Kelak, tulang belulangnya dikumpulkan dan disipan di atas pokok-pokok kayu. Tengkorak kepala diambil dan dipergunakan sebagai bantal petanda cinta kasih pada yang meninggal. Orang Asmat percaya bahwa roh-roh orang yang telah meninggal tersebut (bi) masih tetap berada di dalam kampung, terutama kalau orang itu diwujudkan dalam bentuk patung mbis, yaitu patung kayu yangtingginya 5-8 meter. Cara lain yaitu dengan meletakkan jenazah di perahu lesung panjang dengan perbekalan seperti sagu dan ulat sagu untuk kemudian dilepas di sungai dan seterusnya terbawa arus ke laut menuju peristirahatan terakhir roh-roh.

Saat ini, dengan masuknya pengaruh dari luar, orang Asmat telah mengubur jenazah dan beberapa barang milik pribadi yang meninggal. Umumnya, jenazah laki-laki dikubur tanpa menggunakan pakaian, sedangkan jenazah wanita dikubur dengan menggunakan pakaian. Meski demikian, Orang Asmat masih tidak memiliki pemakaman umum. Jenazah biasanya dikubur di hutan, di pinggir sungai atau semak-semak tanpa nisan. Namun, dimanapun jenazah itu dikubur, keluarga tetap dapat menemukan kuburannya.

Sekian dulu ya, penjelasan singkat dari saya mengenai suku Asmat. Mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata atau kekurangan data. Semoga di postingan selanjutnya saya dapat melengkapi lagi tulisan ini. Akhir kata, saya ucapkan terimakasih untuk yang telah membaca postingan ini. Sampai jumpa di postingan berikutnya :)

Sumber : http://loita-kurrota-a.blog.ugm.ac.id/2011/11/09/sistem-kepercayaan-suku-asmat/ dan sumber lainnya.

6 Oktober 2013

Budaya Suku Baduy




Hai, salam kenal. Di kali pertama penulisan blog ini, saya akan membahas tentang suku Baduy. Suku Baduy adalah salah satu suku terasing di Indonesia. Suku ini bermukim di daerah Banten. Sebutan "Baduy" sendiri merupakan sebutan yang diberikan oleh penduduk luar kepada kelompok masyarakat tersebut, berawal dari sebutan para peneliti Belanda yang menyamakan dengan kelompok Arab Badawi yang merupakan masyarakat yang berpindah-pindah (nomaden). Suku Baduy terbagi dua, yaitu Baduy dalam dan Baduy luar. Masyarakat Baduy luar sudah berbaur dengan masyarakat luar dan dengan kebudayaan luar, sedangkan masyarakat Baduy dalam masih belum tersentuh kebudayaan luar.



Untuk mempertahankan keaslian budayanya, suku Baduy memiliki peraturan-peraturan yang diterapkan dalam desa-desa mereka. Peraturan tersebut antara lain,
*      Tidak boleh menggunakan listrik
*      Pantang untuk difoto
*      Tidak boleh menggunakan pupuk kimia buatan pabrik
*      Pantang naik kendaraan bermotor
*      Kain, rumah, jalan dan jembatan di desa Baduy adalah buatan sendiri
*      Tidak menjual padi yang ditanam

Aturan-aturan ini dibuat berdasarkan kepercayaan suku tersebut, yaitu Sunda Wiwitan yang berakar pada pemujaan kepada arwah nenek moyang. Kepercayaan ini memiliki suatu pikukuh atau ketentuan adat mutlak yang dianut dalam kehidupan sehari-hari suku Baduy. Pikukuh tersebut berbunyi :

Lojor heunteu beunang dipotong, pèndèk heunteu beunang disambung.

Konsep intinya adalah hidup tanpa perubahan apa pun atau dengan perubahan sesedikit mungkin. Konsep yang dipegang teguh ini diterapkan pada kehidupan sehari-hari, misalnya dalam berladang tidak mengubah kontur tanah dengan membuat terasering dan tidak menggunakan bajak. Cara berladangnya hanya menggunakan tugal, sepotong bambu yang diruncingkan. Begitu pula saat membangun rumah. Kontur tanah tidak diubah sama sekali, sehingga tiang rumah mereka terlihat tidak sama tinggi.

Objek kepercayaan terpenting bagi masyarakat Baduy adalah Arca Domas, yang lokasinya dirahasiakan dan dianggap paling sakral. Mereka mengunjungi lokasi tersebut untuk melakukan pemujaan setahun sekali pada bulan Kalima, penanggalan Sunda. Hanya ketua adat tertinggi dan beberapa anggota masyarakat terpilih saja yang mengikuti rombongan pemujaan tersebut. Di kompleks Arca Domas tersebut terdapat batu lumpang yang menyimpan air hujan. Apabila pada saat pemujaan ditemukan batu lumpang tersebut ada dalam keadaan penuh air yang jernih, maka bagi masyarakat Baduy, itu merupakan pertanda bahwa hujan pada tahun tersebut akan banyak turun, dan panen akan berhasil baik. Sebaliknya, apabila batu lumpang kering atau berair keruh, maka merupakan pertanda kegagalan panen.

Selain kepercayaan, masyarakat Baduy juga memiliki sistem pernikahan yang berbeda. Sistem pernikahan yang dianut adalah sistem pernikahan monogami, artinya satu pria Baduy hanya boleh memiliki satu istri yang tidak boleh diceraikan hingga meninggal. Selain itu, menurut sistem ini, seorang adik tidak boleh melangsungkan pernikahan sebelum kakaknya melangsungkan pernikahan.

Sistem ini juga tidak mengenal hubungan pra-nikah (pacaran). Pasangan akan langsung dijodohkan. Diawali dengan pertemuan orang tua kedua pihak, lalu saling memperkenalkan anak masing-masing. Selanjutnya, proses dilanjutkan dengan tiga kali proses pelamaran, yaitu :
1. Tahap Pertama, orang tua laki-laki harus melapor ke Jaro (Kepala Kampung) dengan membawa daun sirih, buah pinang dan gambir secukupnya.
2. Tahap kedua, selain membawa sirih, pinang, dan gambir, pelamaran kali ini dilengkapi dengan cincin yang terbuat dari baja putih sebagai mas kawinnya.
3. Tahap ketiga, mempersiapkan alat-alat kebutuhan rumah tangga, baju serta seserahan pernikahan untuk pihak perempuan.

Pelaksanaan akad nikah pun telah diatur dalam pikukuh tersebut. Akad nikah diadakan di Balai Adat dan disahkan oleh seorang ketua adat setempat. Peraturan ini juga mengatur tentang penyelenggaraan perkawinan yaitu pada bulan kelima, keenam dan ketujuh.