6 Oktober 2013

Budaya Suku Baduy




Hai, salam kenal. Di kali pertama penulisan blog ini, saya akan membahas tentang suku Baduy. Suku Baduy adalah salah satu suku terasing di Indonesia. Suku ini bermukim di daerah Banten. Sebutan "Baduy" sendiri merupakan sebutan yang diberikan oleh penduduk luar kepada kelompok masyarakat tersebut, berawal dari sebutan para peneliti Belanda yang menyamakan dengan kelompok Arab Badawi yang merupakan masyarakat yang berpindah-pindah (nomaden). Suku Baduy terbagi dua, yaitu Baduy dalam dan Baduy luar. Masyarakat Baduy luar sudah berbaur dengan masyarakat luar dan dengan kebudayaan luar, sedangkan masyarakat Baduy dalam masih belum tersentuh kebudayaan luar.



Untuk mempertahankan keaslian budayanya, suku Baduy memiliki peraturan-peraturan yang diterapkan dalam desa-desa mereka. Peraturan tersebut antara lain,
*      Tidak boleh menggunakan listrik
*      Pantang untuk difoto
*      Tidak boleh menggunakan pupuk kimia buatan pabrik
*      Pantang naik kendaraan bermotor
*      Kain, rumah, jalan dan jembatan di desa Baduy adalah buatan sendiri
*      Tidak menjual padi yang ditanam

Aturan-aturan ini dibuat berdasarkan kepercayaan suku tersebut, yaitu Sunda Wiwitan yang berakar pada pemujaan kepada arwah nenek moyang. Kepercayaan ini memiliki suatu pikukuh atau ketentuan adat mutlak yang dianut dalam kehidupan sehari-hari suku Baduy. Pikukuh tersebut berbunyi :

Lojor heunteu beunang dipotong, pèndèk heunteu beunang disambung.

Konsep intinya adalah hidup tanpa perubahan apa pun atau dengan perubahan sesedikit mungkin. Konsep yang dipegang teguh ini diterapkan pada kehidupan sehari-hari, misalnya dalam berladang tidak mengubah kontur tanah dengan membuat terasering dan tidak menggunakan bajak. Cara berladangnya hanya menggunakan tugal, sepotong bambu yang diruncingkan. Begitu pula saat membangun rumah. Kontur tanah tidak diubah sama sekali, sehingga tiang rumah mereka terlihat tidak sama tinggi.

Objek kepercayaan terpenting bagi masyarakat Baduy adalah Arca Domas, yang lokasinya dirahasiakan dan dianggap paling sakral. Mereka mengunjungi lokasi tersebut untuk melakukan pemujaan setahun sekali pada bulan Kalima, penanggalan Sunda. Hanya ketua adat tertinggi dan beberapa anggota masyarakat terpilih saja yang mengikuti rombongan pemujaan tersebut. Di kompleks Arca Domas tersebut terdapat batu lumpang yang menyimpan air hujan. Apabila pada saat pemujaan ditemukan batu lumpang tersebut ada dalam keadaan penuh air yang jernih, maka bagi masyarakat Baduy, itu merupakan pertanda bahwa hujan pada tahun tersebut akan banyak turun, dan panen akan berhasil baik. Sebaliknya, apabila batu lumpang kering atau berair keruh, maka merupakan pertanda kegagalan panen.

Selain kepercayaan, masyarakat Baduy juga memiliki sistem pernikahan yang berbeda. Sistem pernikahan yang dianut adalah sistem pernikahan monogami, artinya satu pria Baduy hanya boleh memiliki satu istri yang tidak boleh diceraikan hingga meninggal. Selain itu, menurut sistem ini, seorang adik tidak boleh melangsungkan pernikahan sebelum kakaknya melangsungkan pernikahan.

Sistem ini juga tidak mengenal hubungan pra-nikah (pacaran). Pasangan akan langsung dijodohkan. Diawali dengan pertemuan orang tua kedua pihak, lalu saling memperkenalkan anak masing-masing. Selanjutnya, proses dilanjutkan dengan tiga kali proses pelamaran, yaitu :
1. Tahap Pertama, orang tua laki-laki harus melapor ke Jaro (Kepala Kampung) dengan membawa daun sirih, buah pinang dan gambir secukupnya.
2. Tahap kedua, selain membawa sirih, pinang, dan gambir, pelamaran kali ini dilengkapi dengan cincin yang terbuat dari baja putih sebagai mas kawinnya.
3. Tahap ketiga, mempersiapkan alat-alat kebutuhan rumah tangga, baju serta seserahan pernikahan untuk pihak perempuan.

Pelaksanaan akad nikah pun telah diatur dalam pikukuh tersebut. Akad nikah diadakan di Balai Adat dan disahkan oleh seorang ketua adat setempat. Peraturan ini juga mengatur tentang penyelenggaraan perkawinan yaitu pada bulan kelima, keenam dan ketujuh.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar