Seperti yang
saya janjikan, dalam postingan minggu ini saya akan melanjutkan pembahasan
mengenai suku Asmat.
Suku Asmat terkenal dengan ukiran kayunya.
Ukiran kayu yang bernilai seni ini dibuat tanpa menggunakan rancangan sketsa. Ukiran
hasil buatan mereka sangat diminati para turis asing. Ukiran yang tak pernah
dibuat identik dan beraliran naturalis menjadi ciri khas dari karya ukiran
hasil suku ini. Berikut adalah contoh salah satu ukiran tersebut.
Dahulu,
patung ukiran ini dibuat untuk mengadakan upacara bis, yaitu upacara yang
diadakan untuk memperingati anggota keluarga yang mati terbunuh. Pembuatan
patung ukiran leluhur ini memakan waktu 6-8 minggu. Pengukiran patung dikerjakan di dalam rumah panjang (bujang)
dan selama pembuatan patung berlangsung, kaum wanita tidak diperbolehkan
memasuki rumah tersebut. Patung bis menggambarkan rupa dari anggota keluarga yang telah meninggal. Yang
satu berdiri di atas bahu yang lain bersusun dan paling utama berada di puncak
bis. Setelah itu diberikan warna dan diberikan hiasan-hiasan.Usai didandani,
patung bis ini diletakkan di atas suatu panggung yang dibangun dirumah panjang.
Pada saat itu, keluarga yang ditinggalkan akan mengatakan bahwa pembalasan
dendam telah dilaksanakan dan mereka mengharapkan agar roh-roh yang telah
meninggal itu berangkat ke pulau Sirets dengan tenang. Mereka juga memohon agar
keluarga yang ditinggalkan tidak diganggu dan diberikan kesuburan. Biasanya,
patung bis ini kemudian ditaruh dan ditegakkan di daerah sagu hingga rusak.
Selain ukiran dan ritual, hal unik lainnya dari suku Asmat adalah makanan.
Makanan pokok mereka adalah sagu. Sagu dibuat jadi bulatan-bulatan yang dibakar dalam bara api. Makanan unik
lainnya adalah ulat sagu, yakni ulat yang hidup di batang pohon sagu. Biasanya ulat sagu dibungkus dengan daun nipah, ditaburi sagu kemudian dibakar dalam bara api. Selain itu sayuran dan ikan bakar biasanya dijadikan pelengkap.
Seperti
kebanyakan suku terasing, suku Asmat merasa dirinya adalah bagian dari alam.
Karena itulah mereka sangat menghormati dan menjaga alam sekitarnya. Bahkan, pohon disekitar
tempat hidup mereka dianggap menjadi gambaran dirinya. Batang pohon
menggambarkan tangan, buah menggambarkan kepala, dan akar menggambarkan kaki
mereka. Perasaan menyatu
dengan alam ini juga tampak dalam cara sederhana mereka untik merias diri
mereka. Mereka hanya membutuhkan tanah merah untuk menghasilkan warna
merah, kulit kerang yang
dihaluskan untuk warna putih, dan arang yang dihaluskan untuk warna hitam. Cara
penggunaannya pun cukup mudah, yaitu dengan menambahkan sedikit air lalu
mengoleskan pewarna dengan tangan ke wajah masing-masing.
Suku Asmat
memiliki sebuah alat musik khas, yaitu Tifa. Dalam kepercayaan mengenai asal
usul suku mereka, anak dewa yang berhasil selamat ini merasa kesepian. Kemudian
ia membuat patung-patung kayu dan sebuah tifa. Dalam kesepiannya, ia terus
menerus menabuh tifanya hingga akhirnya bergeraklah patung- patung kayu yang
dibuatnya mengikuti irama tifa yang ia mainkan. Kemudian, patung- patung yang
bergerak itu pun berubah menjadi manusia hidup. Sejak saat itu, Fumuripitis,
anak dewa itu, terus mengembara dan menciptakan manusia- manusia baru yang
kemudian menjadi orang- orang Asmat seperti saat ini.
Demikianlah
pembahasan mengenai suku Asmat dari saya. Mohon maaf bila data yang saya
sajikan kurang lengkap berhubung saya sendiri belum pernah datang langsung ke
tempat kediaman suku ini ^_^ . Akhir kata, saya ucapkan terimakasih untuk
pembaca yang membaca dari awal postingan ini tanpa bosan meng-scroll. Sampai
jumpa :)
Maaf, saya lupa. Postingan ini dikutip dari : http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Asmat dan http://rumahblogpapua.wordpress.com/2009/09/12/seni-ukir-kayu-suku-asmat/
BalasHapusTerimakasih