1 Juli 2014

Pelaksanaan Otonomi Daerah Menurut UUD di Indonesia

Pengertian otonomi secara bahasa adalah berdiri sendiri atau dengan pemerintahan sendiri, Sedangkan daerah adalah suatu wilayah atau lingkungan pemerintah. Dengan demikian pengertian otonomi daerah secara bahasa adalah wewenang atau kekuasaan pada suatu wilayah atau daerah yang mengatur dan mengelola untuk kepentingan wilayah atau daerah masyarakat itu sendiri. Pengertian yang lebih luas lagi adalah wewenang atau kekuasaan pada suatu wilayah atau daerah yang mengatur dan mengelola untuk kepentingan wilayah atau daerah masyarakat itu sendiri mulai dari ekonomi, politik, dan pengaturan perimbangan keuangan termasuk pengaturan sosial, budaya, dan ideologi yang sesuai dengan tradisi adat istiadat daerah lingkungannya. Terdapat dua nilai dasar yang dikembangkan dalam UUD 1945 berkenaan dengan pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia, yaitu:
1.        Nilai Unitaris, yang diwujudkan dalam pandangan bahwa Indonesia tidak mempunyai kesatuan pemerintahan lain di dalamnya yang bersifat negara ("Eenheidstaat"), yang berarti kedaulatan yang melekat pada rakyat, bangsa dan negara Republik Indonesia tidak akan terbagi di antara kesatuan-kesatuan pemerintahan
2.        Nilai Desentralisasi Teritorial, dari isi dan jiwa pasal 18 Undang-undang Dasar 1945 beserta penjelasannya sebagaimana tersebut di atas maka jelaslah bahwa pemerintah diwajibkan untuk melaksanakan politik desentralisasi dan dekonsentrasi di bidang ketatanegaraan.
Dikaitkan dengan dua nilai dasar tersebut di atas, penyelenggaraan desentralisasi di Indonesia berpusat pada pembentukan daerah-daerah otonom dan penyerahan/pelimpahan sebagian kekuasaan dan kewenangan pemerintah pusat ke pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus sebagian kekuasaan dan kewenangan tersebut. Adapun titik berat pelaksanaan otonomi daerah adalah pada Daerah Tingkat II (Dati II) dengan beberapa dasar pertimbangan:
1.        Dimensi Politik, Dati II dipandang kurang mempunyai fanatisme kedaerahan sehingga risiko gerakan separatisme dan peluang berkembangnya aspirasi federalis relatif minim;
2.        Dimensi Administratif, penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat relatif dapat lebih efektif;
3.        Dati II adalah daerah "ujung tombak" pelaksanaan pembangunan sehingga Dati II-lah yang lebih tahu kebutuhan dan potensi rakyat di daerahnya.
Atas dasar itu, otonomi daerah diterapkan di Daerah Tingkat II (Dati II). Adapun prinsip otonomi daerah yang dianut adalah:
1.        Nyata, otonomi secara nyata diperlukan sesuai dengan situasi dan kondisi obyektif di daerah
2.        Bertanggung jawab, pemberian otonomi diselaraskan/diupayakan untuk memperlancar pembangunan di seluruh pelosok tanah air
3.        Dinamis, pelaksanaan otonomi selalu menjadi sarana dan dorongan untuk lebih baik dan maju
Otonomi daerah sesungguhnya bukanlah hal yang baru di Indonesia. Sampai saat ini Indonesia sudah beberapa kali merubah peraturan perundang-undangan tentang pemerintahan daerah yang menandakan bagaimana otonomi daerah di Indonesia berjalan secara dinamis.
Semenjak awal kemerdekaan sampai sekarang telah terdapat beberapa peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang kebijakan Otonomi Daerah. UU No. 1 th 1945 menganut sistem otonomi daerah rumah tangga formil. UU No. 22 th 1948 memberikan hak otonomi dan medebewind yang seluas-luasnya kepada daerah. Selanjutnya UU No. 1 th 1957 menganut sistem otonomi riil yang seluas-luasnya. Kemudian UU No. 5 th 1974 menganut prinsip otonomi daerah yang nyata dan bertanggungjawab. UU No. 22 th 1999 menganut prinsip otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggungjawab. Sedangkan saat ini di bawah UU No. 32 th 2004 dianut prinsip otonomi seluas-luasnya, nyata dan bertanggung jawab.

Pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia masih banyak kekurangan yang mewarnai pelaksanaan otonomi daerah seperti kurangnya koordinasi pusat dan daerah serta masalah-masalah lain yang kemudian berdampak terhadap masyarakat itu sendiri. Keinginan untuk mewujudkan suatu pemerintahan yang baik melalui otonomi daerah memang bukanlah hal yang mudah, masih banyak hal yang perlu diperhatikan untuk dapat menciptakan otonomi daerah yang maksimal demi menciptakan pemerintahan khususnya pemerintahan daerah yang lebih baik.

Sumber : http://novitamyself.blogspot.com/

Politik Nasional pada Masa Orde Baru dan Reformasi

A.      Masa Orde Baru
Jadi politik Orde Baru adalah fenomena kompleks sehingga jauh dari monolitik. Dengan demikian ada manfaatnya melihat Orde Baru dengan melakukan pentahapan seperti dilakukan oleh Andreas Vickers seorang associate professor di Universitas Wollongong, Australia. Vikers membagi sejarah Orde Baru dalam tiga babak yang saling berkaitan satu sama lain, yaitu fase Honeymoon, Stalinist dan fase Keterbukaan.
Vikers tidak memasukkan secara khusus periode krisis pemerintahan Orde Baru, terutama pada tahun-tahun terakhir menjelang kejatuhan rezim Soeharto. Selayaknya masa krisis ini dicatat tersendiri, sehingga genapnya periodesiasi politik masa Orde Baru itu meliputi sebagai berikut
a.         Periode Honeymoon
Fase pertama, mengutip pendapat Umar Kayam, Vikers menyebut periode 1967-1974 sebagai fase Honeymoon. Pada periode ini sistem politik di negeri ini relative terbuka. Bangsa Indonesia bisa menikmati kebebasan pers. Militer tidak mendominasi banyak aspek pemerintahan. Sebaliknya, militer menjalin aliansi dengan mahasiswa, kelompok Islam dan sejumlah tokoh politik pada masa Soekarno. Soeharto menjalin hubungan erat sehingga menjadi jalinan triumvirate yang kuat dengan Adam Malik yang dikenal sebagai tokoh politik kekirian (Tan Malakaist) dan Hamengkubuwono IX (9) yang dikenal sebagai Soekarnois liberal.
Periode ini di akhiri dengan peristiwa Malari yang sertai dengan dimulainya tekanan atas kekuatan mahasiswa di satu pihak dan di lain pihak sebuah upaya Soeharto membangun kekuatan dari tekanan lawan politik di tubuh militer. Arus politik pada masa itu memunculkan tokoh popular, Ali Moertopo dengan para pengikutnya yang menyebar dihampir semua posisi politik dan birokrasi. Bersamaan dengan itu, arus politik membawa Indonesia untuk melakukan pengintegrasian Timor Timur menjadi bagian dari Indonesia pada Tahun 1976.
b.        Periode Stalinist
Fase kedua adalah periode tahun 1974-1988/1989 yang disebut sebagai fase Stalinist. Pada fase ini otoritarianisme menjadi ciri yang mengedepankan dalam arena kepolitikan di Indonesia. Pemerintahan menerapkan kebijakan Normalisasi Kehidupan Kampus, Menteri P dan K mengeluarkan SK 028/1978 dan Kopkamtib mengeluarkan SKEP 02/Kopkam/1978 yang membekukan kegiatan Dewan Mahasiswa, menyusul kemudia dikeluarkan SK Menteri P dan K No.0156/U/1978 tentang Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK) yang disertai pula dengan perangkat BKK.
Kebijakan normalisasi kehidupan kampus itu diterapkan dengan dalih agar mahasiswa menjadi man of analysis dan bukan moral force atau apalagi sebagaimana political force. Dalam praktik, kebijakan itu berhasil mendepolitisasi mahasiswa. Tidak ada gerakan mahasiswa pada periode ini, kecuali gerakan-gerakan yang lingkup dan isi perjuangannya bersifat lokal, seperti gerakan protes mahasiswa terhadap pembangunan Waduk Kedugombo, penurunan SPP, protes pemecatan Arief Budiman di Universitas Satyawancana, protes mahasiswa Ujungpadang atas kenaikan tarif angkot.
Pada fase ini militer bergandengan erat dengan Birokrasi sehingga menjadi instrumen politik penguasa Orde Baru yang sangat tangguh. Lawan-lawan politik Soeharto dimarginalisasikan. Pemerintahan memberlakukan indoktrinasi ideologi Pancasila dalam bahasa penguasa melalui penataran P4; peng-asas-tunggalan organisasi politik, kemasyarakatan maupun keagamaan; pemberlakuan politik masa mengambang (floating mass) setelah penasehat politik Soeharto, Ali Moertopo pertama kali berbicara tentang konsep tersebut.
c.         Periode keterbukaan
Periode ini berlangsung pada akhir 1980-an. Pada masa ini mulai muncul kekuatan yang selama itu berseberangan dengan kekuasaan. Di parlemen muncul “interupsi” dari salah seorang anggota fraksi ABRI (sekarang TNI dan POLRI). Ada yang bilang periode ini merupakan saat dimana orang mengucapkan “good-bye” untuk menjadi manusia “yes-men”, menunggu petunjuk bapak presiden. Dalam dunia ekonomi pemerintah mengeluarkan sejumlah deregulasi, yang mempercepat arus masuknya modal asing. Investasi dunia perbankan menjadi dipermudah.
Bank tumbuh bukan hanya di kota tetapi sampai ke kecamatan-kecamatan. Dengan modal Rp 50 juta bisa membuat bank, Bank Perkreditan Rakyat (BPR). Bersamaan dengan itu, perkembangan sejarah politik internasional ditandai dengan munculnya keterbukaan (glasnost) dan reformasi (perestroika) yang digulirkan oleh presiden Uni Soviet, Michael Gorbachove.
d.        Periode krisis
Puncak dari keterbukaan yang berlangsung di Indonesia adalah masa krisis. Dimulai dengan krisis moneter. Kurs Rupiah di mata dolar AS merosot tajam. Ibarat kapal, negeri ini sedang dihantam ombak besar. Sejumlah petinggi negeri ini mengatakan tidak ada masalah, karena fundamental ekonomi kita cukup kuat. Ternyata tidak demikian. Indonesia terus diterpa badai moneter, kurs rupiah benar-benar tidak terkendali, sampai lebih Rp 10 ribu per dolar AS. Krisis ini disertai dengan krisis sosial politik yang tak terkendali. Kelompok kritis, dosen-dosen senior perguruan tinggi negeri di Indonesia “turun gunung” dan gelombang demonstrasi mahasiswa pecah dimana-mana. Rezim Soeharto benar-benar sedang di terpa badai, dan akhirnya menyerahkan kekuasaan kepada BJ. Habibie pada tahun 1998. Sejak itu berakhirlah rezim Soeharto, dan dimulailah era baru, era reformasi. Indonesia memulai lembaran baru dalam sejarah politik dengan awal yang tidak mudah. Tertatih-tatih bangsa ini, mengatasi kerusuhan, pembakaran, perusakan, separatisme, hingga penjambretan, penodong dan berbagai bentuk kriminalitas yang tak terkendali oleh aparat.

B.       Masa Reformasi
1.        Pemerintahan Habibie
Presiden Habibie segera membentuk sebuah kabinet. Salah satu tugas pentingnya adalah kembali mendapatkan dukungan dari Dana Moneter Internasional dan komunitas negara-negara donor untuk program pemulihan ekonomi. Dia juga membebaskan para tahanan politik dan mengurangi kontrol pada kebebasan berpendapat dan kegiatan organisasi.
2.        Pemerintahan Wahid
Pemilu untuk MPR, DPR, dan DPRD diadakan pada 7 Juni1999. PDI Perjuangan pimpinan putri Soekarno, Megawati Sukarnoputri keluar menjadi pemenang pada pemilu parlemen dengan mendapatkan 34% dari seluruh suara; Golkar (partai Soeharto–sebelumnya selalu menjadi pemenang pemilu-pemilu sebelumnya) memperoleh 22%; Partai Persatuan Pembangunan pimpinan Hamzah Haz 12%; Partai Kebangkitan Bangsa pimpinan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) 10%. Pada Oktober 1999, MPR melantik Abdurrahman Wahid sebagai presiden dan Megawati sebagai wakil presiden untuk masa bakti 5 tahun. Wahid membentuk kabinet pertamanya, Kabinet Persatuan Nasional pada awal November 1999 dan melakukan reshuffle kabinetnya pada Agustus 2000. Pemerintahan Presiden Wahid meneruskan proses demokratisasi dan perkembangan ekonomi di bawah situasi yang menantang. Di samping ketidakpastian ekonomi yang terus berlanjut, pemerintahannya juga menghadapi konflik antar etnis dan antar-agama, terutama di Aceh, Maluku, danPapua. Di Timor Barat, masalah yang ditimbulkan rakyat Timor Timur yang tidak mempunyai tempat tinggal dan kekacauan yang dilakukan para militan Timor Timur pro-Indonesia mengakibatkan masalah-masalah kemanusiaan dan sosial yang besar. MPR yang semakin memberikan tekanan menantang kebijakan-kebijakan Presiden Wahid, menyebabkan perdebatan politik yang meluap-luap.
3.        Pemerintahan Megawati
Pada Sidang Umum MPR pertama pada Agustus 2000, Presiden Wahid memberikan laporan pertanggung jawabannya. Pada 29 Januari 2001, ribuan demonstran menyerbu MPR dan meminta Presiden agar mengundurkan diri dengan alasan keterlibatannya dalam skandal korupsi. Di bawah tekanan dari MPR untuk memperbaiki manajemen dan koordinasi di dalam pemerintahannya, dia mengedarkan keputusan presiden yang memberikan kekuasaan negara sehari-hari kepada wakil presiden Megawati. Megawati mengambil alih jabatan presiden tak lama kemudian.Kabinet pada masa pemerintahan Megawati disebut dengan kabinet gotong royong.
4.        Pemerintahan Yudhoyono

Pada 2004, pemilu satu hari terbesar di dunia diadakan dan Susilo Bambang Yudhoyono tampil sebagai presiden baru Indonesia. Pemerintah baru ini pada awal masa kerjanya telah menerima berbagai cobaan dan tantangan besar, seperti gempa bumi besar di Aceh dan Nias pada Desember 2004 yang meluluhlantakkan sebagian dari Aceh serta gempa bumi lain pada awal 2005 yang mengguncang Sumatra. Pada 17 Juli 2005, sebuah kesepakatan bersejarah berhasil dicapai antara pemerintah Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka yang bertujuan mengakhiri konflik berkepanjangan selama 30 tahun di wilayah Aceh.

Sumber : http://novitamyself.blogspot.com/